Muktazilah Hadir sebagai sebuah aliran pemikiran teologi yang revolusioner dalam Islam. Kemunculannya terjadi di Basra, Irak, pada abad ke-8 Masehi. Mereka dikenal karena pendekatan rasionalnya dalam memahami ajaran agama. Aliran ini lahir dari kebutuhan untuk menjawab berbagai pertanyaan teologi yang kompleks pada masa awal Islam.
Pembentukan Muktazilah berawal dari perdebatan sengit tentang status seorang Muslim yang melakukan dosa besar. Wasil bin Atha, pendiri aliran ini, memiliki pandangan berbeda dari gurunya, Hasan al-Bashri. Wasil “memisahkan diri” dari halaqah Hasan al-Bashri, dan dari sinilah nama “Muktazilah” berasal, yang berarti “mereka yang memisahkan diri”.
Wasil bin Atha mengajukan konsep “manzilah bain al-manzilatain” (posisi di antara dua posisi). Ia berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak bisa disebut kafir (seperti Khawarij) atau mukmin sepenuhnya (seperti Murji’ah). Mereka berada di posisi fasik. Ini menjadi ciri khas awal ajaran Muktazilah.
Dalam mengembangkan teorinya, Muktazilah merumuskan Lima Prinsip Dasar (al-Usul al-Khamsah). Prinsip-prinsip ini mencakup tauhid (keesaan Tuhan), keadilan Tuhan, janji dan ancaman, posisi antara dua posisi, dan amar ma’ruf nahi munkar. Kelima prinsip ini menjadi fondasi kokoh bagi seluruh pemikiran mereka.
Prinsip tauhid bagi Muktazilah sangat menekankan kemutlakan keesaan Allah. Mereka secara tegas menolak segala bentuk antropomorfisme atau penyerupaan Allah dengan makhluk. Allah Maha Esa dan tidak memiliki sifat-sifat yang bisa diartikan secara fisik, menjaga kesucian-Nya yang tak terbatas.
Prinsip keadilan Tuhan (al-‘adl) adalah landasan pemikiran penting lainnya. Muktazilah meyakini bahwa Allah Mahaadil dan Mahabijaksana. Oleh karena itu, manusia diberi kebebasan berkehendak (ikhtiyar) untuk memilih perbuatan baik atau buruk. Mereka akan menerima balasan yang setimpal sesuai pilihannya.
Pengembangan teori Muktazilah sangat mengedepankan peran akal (rasio) dalam memahami wahyu. Mereka berpendapat bahwa akal dapat menjadi alat untuk menafsirkan teks suci dan membedakan antara yang benar dan salah. Jika ada konflik antara akal dan makna harfiah teks, akal harus diutamakan atau teks ditafsirkan secara alegoris.
Pada masa kekhalifahan Abbasiyah, terutama di era Khalifah al-Ma’mun, Muktazilah sempat mendapatkan dukungan politik yang kuat. Hal ini memungkinkan mereka untuk menyebarkan pemikiran dan teori-teori mereka secara lebih luas. Ini adalah periode emas bagi perkembangan intelektual aliran ini.
Namun, kejayaan Muktazilah tidak berlangsung lama. Pandangan mereka yang rasionalistik seringkali dianggap terlalu ekstrem dan bertentangan dengan tradisi oleh sebagian besar ulama dan masyarakat. Akhirnya, mereka tergeser oleh mazhab-mazhab Sunni yang lebih konservatif.
Meskipun demikian, warisan intelektual Muktazilah sangat signifikan. Teori-teori mereka telah memicu diskusi filosofis dan teologis yang mendalam dalam sejarah Islam. Mereka membuka jalan bagi pendekatan kritis dan rasional dalam studi agama, meninggalkan jejak abadi dalam pemikiran Islam.