Sorogan: Inti Pembelajaran Klasik dan Personal di Pondok Pesantren

Tradisi sorogan merupakan inti pembelajaran klasik yang personal dan mendalam di pondok pesantren. Metode ini telah diwariskan turun-temurun, menjadi pilar utama dalam mencetak santri yang tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga memiliki kedekatan spiritual dengan gurunya.


Sistem sorogan adalah metode pengajaran di mana santri secara bergantian atau individu datang menghadap kiai atau ustaz untuk membaca dan menghafal kitab kuning. Kiai atau ustaz kemudian akan menyimak, mengoreksi bacaan (terutama pada harakat dan tajwid), serta menjelaskan makna dari teks tersebut secara detail. Interaksi satu lawan satu ini memungkinkan guru untuk memahami betul tingkat pemahaman setiap santri, memberikan bimbingan yang sangat personal dan sesuai dengan kemampuan muridnya. Ini adalah inti pembelajaran klasik yang sulit ditiru oleh sistem pendidikan massal. Proses ini juga membangun ikatan batin yang kuat antara guru dan murid, dikenal dengan istilah rabithah.

Keunggulan dari inti pembelajaran klasik ini terletak pada fokus dan konsentrasi yang tinggi. Santri dituntut untuk mempersiapkan diri dengan baik sebelum menghadap guru, memahami materi yang akan dibaca, dan siap menerima koreksi. Ini melatih kemandirian belajar dan ketelitian. Misalnya, seorang santri mungkin akan menghabiskan berjam-jam untuk memahami satu halaman kitab sebelum disorogkan kepada kiai. Pada tanggal 17 Juli 2025, Pondok Pesantren Tahfizul Qur’an Al-Hikam di Jawa Timur mengadakan khotaman (selesainya) kitab Alfiyah Ibnu Malik dengan metode sorogan yang diikuti oleh 50 santri. Acara ini merupakan bukti keberhasilan metode sorogan dalam menguasai ilmu nahwu dan shorof.

Meskipun terlihat sederhana, sorogan sangat efektif dalam melahirkan ulama-ulama besar yang menguasai ilmu agama secara mendalam. Tradisi ini juga menanamkan adab dan rasa hormat yang tinggi santri kepada gurunya. Para santri belajar untuk bersabar, rendah hati, dan tekun dalam menuntut ilmu. Pada hari Kamis, 24 Juli 2025, dalam sebuah diskusi panel bertema “Melestarikan Tradisi Ilmu Pesantren” yang diadakan oleh Asosiasi Pesantren Salafiyah Indonesia di Bandung, Dr. Ahmad Fauzi, seorang sejarawan pendidikan Islam, menyatakan bahwa metode sorogan adalah kunci utama yang menjaga transmisi keilmuan Islam secara otentik di Nusantara. Diskusi tersebut juga dihadiri oleh perwakilan Kementerian Agama.

Dengan demikian, sorogan tetap menjadi inti pembelajaran klasik yang tak tergantikan di banyak pondok pesantren. Ini adalah metode yang membentuk bukan hanya intelektualitas, tetapi juga karakter dan spiritualitas santri, menjadikan mereka individu yang berilmu, beradab, dan siap melanjutkan estafet keilmuan agama di masa depan.